Gerakan Sosial

Sejak gerakan politik nasionalis memperjuangkan tuntutan untuk merdeka selama periode penutup kolonialisme Eropa tuntutan rakyat akan perubahan politik dan ekonomi tidak sedemikian mendalam dan meluas seperti masa ini. Pada tahun 1950, 1960, 1970-an gerakan nasionalis di Afrika, Asia, Timur Tengah dan Karibia menuntut untuk mengakhiri kekuasaan kolonial dan membentuk negara yang merdeka. Sebagian besar bangsa Amerika Latin telah melewati proses itu lebih dari seratus tahun sebelumnya.

Pemerintahan di negara Dunia Ketiga menghadapi dua masalah utama, yang satu bersifat sosial politik, dan yang lain bersifat ekonomis. Pertama, bagaimana membangun dan kemudian mempertahankan kendali terhadap warga negaranya. Kedua, pasti akan lebih mudah bagi kebanyakan warga negara untuk merasa puas terhadap pemerintah mereka jika pemerintahan ekonomi pada tingkat yang layak, dan relatif terbagi secara merata.

Banyak rakyat Dunia Ketiga tidak lagi menganggap pemerintah mereka sebagai pemimpin kepentingan kolektif masyarakat di dalam negeri dan di luar negeri, sebagai seperangkat lembaga yang bekerja untuk kebaikan masyarakat banyak. Bangsa-bangsa Dunia Ketiga mendambakan pembangunan dan demokrasi di terapkan di Negara mereka. Pertumbuhan kelompok pembangunan dan pemberdayaan rakyat jelata merupakan tanggapan rakyat Dunia Ketiga terhadap kemiskinan yang makin luas dan ketiadaan kekuasaan.

Dengan menempatkan perjuangan rakyat jelata dalam pertumbuhan masyarakat sipil, tujuannya adalah agar dapat memahami dengan lebih baik bagaimana rakyat jelata tumbuh dengan penuh arti di Dunia Ketiga sekarang ini. Sejumlah kelompok yang melembaga dalam masyarakat sipil mungkin memiliki aspirasi dan tujuan yang berbeda dari kelompok aksi rakyat jelata. Bagaimana kelompok aksi berinteraksi dengan rekannya yang melambaga dan apa akibatnya.

Suatu proses eliminasi untuk menggunakan istilah kelompok ‘aksi’ dengan alasan berikut ini. Pertama, kalompok itu mempunyai ciri suatu keinginan untuk mencapai tujuan melalui aktivitas mereka sendiri. Kedua, para anggota memandang dirinya sendiri sebagai bagian dari suatu kelompok karena mereka terkait dengan keadaan yang serupa. Ketiga, mereka itu sering secara sadar mengaitkan perjuangan pribadi mereka pada penciptaan masyarakat yang lebih demokratis dan adil. Kelompok ini merupakan saluran untuk memperbaiki pembangunan ekonomi dan sosial, yang mendukung demokratisasi perekonomian, masyarakat dan pemerintahan.

Salah satu alasan utama pembentukan kelompok aksi adalah sebagai reaksi defensif terhadap kondisi yang makin tidak dapat dibiarkan. Alasan tumbuhnya kelompok aksi saati ini semata karena kondisi material rakyat jelata di Dunia Ketiga makin memburuk dan pemerintahan tampaknya hanya sedikit bertindak untuk memperbaiki situasi itu. Polarisasi distribusi pendapatan masyarakat Dunia Ketiga dilukiskan dalam sederetan angka statistik: 1 persen dari penduduk dunia menguasai 60 persen sumber daya, 80 persen umat manusia berjuang untuk mendapat 15 persen dari sumber daya (Vidal 1996).

Tuntutan rakyat Dunia Ketiga sering kali disalurkan melalui partai politik yang ada atau gerakan nasionalis/ separatis. Misalnya, selama awal tahun 1990-an terjadi pemberontakan Ogonis di Nigeria yang kaya minyak, pemberontakan Zapatista di Meksiko selatan dan perang saudara yang dilancarkan oleh Front Penyelamatan Islam di Aljazair. Terlihat kecenderungan untuk menolak kekuasaan yang dilaksanakan tanpa konsultasi atau tanggung jawab dan menutut pembagian yang layak dalam hal sumber daya bagi semua orang.

Tiga hal pokok penting dalam Gerakan Sosial Baru (GSB). Pertama, baru secara kualitatif berbeda dengan gerakan sosial lama. Kedua, mengenai isu sosial, dan ketiga kelompok-kelompok perorangan tetapi membentuk unsur gerakan yang lebih besar. Ringkasnya, dari sudut pandang Auda, Cohen, Escobar Alvarez, dan Touraine, gerakan sosial baru itu berusaha mengerahkan bagian-bagian dan kelompok-kelompok yang tertindas atau yang tereksploitasi dalam cara yang ‘baru’ atau berbeda, khususnya melalui ‘proses-proses kapitalisme modern’ (Omvedt 1994:38)

Cara yang lebih baik dalam memandang kelompok aksi di Dunia Ketiga adalah dengan melihatnya sebagai unsur utama dalam munculnya masyarakat sipil. Letak kepentingan mereka yang nyata, disadari atau tidak disadari, kelompok aksi di Dunia Ketiga dengan berusaha melindungi, memprotes dan meningkatkan kepentingan para anggotanya. Hal ini memberikan dukungan kepada munculnya proses demokratis yang perlahan dengan memperkuat dan memperluas masyarakat sipil.

Gerakan-gerakan untuk perubahan banyak bermunculan di negara Dunia Ketiga akhir-akhir ini. Sehingga memaksa pemerintah untuk mengumumkan program-program demokrasi, menyatakan agenda reformasi politik, menyelenggarakan pemilihan umum multiparatai, yang demi kejujuran diawasi oleh tim pengamat internasional. Tetapi yang sama sekali belum jelas adalah seberapa dalam dan luas arah dari gerakan yang beru terbentuk ini bagi reformasi politik.

Masyarakat sipil dan negara idealnya haruslah membentuk perimbangan bersama yang efektif. Masyarakat sipil hendaknya menjadi pelindung yang kuat terhadap dominasi negara, meliputi organisasi-organisasi yang membatasi dan mengesahkan kekuasaan negara. Dengan kata lain, lembaga-lembaga dan badan-badan pendukungnya yang membentuk masyarakat sipil idealnya haruslah cukup kuat untuk menjaga agar negara berada dalam pembatasan substantif dan prosedural.

Secara luas, efektivitas masyarakat sipil tergantung pada tiga pokok penting. Pertama, keterpaduannya. Kedua, tingkat perkembangan ekonomi suatu negara. Ketiga, lamanya negara itu merdeka. Keempat, sejauh mana perpecahan secara etnik atau keagamaan pada masyarakat tersebut.

Perbedaan dalam kekuatan masyarakat sipil di Dunia Ketiga berasal dari sejumlah faktor. Pertama, jika masyarakatnya terpecah karena etnik dan agama dapat diperkirakan bahwa pengaruh masyarakat sipil itu biasanya lemah. Kedua, organisasi yang mewakili dalam masyarakat sipil, media, serikat buruh, asosiasi profesi, badan-badan keagamaan dan sebagainya.

Dimulai sejak tahun 1970-an di Eropa Selatan, gelombang demokrasi meluas kesuluruh Dunia Ketiga. Tidak ada wilayah yang kebal. Jumlah negara demokrasi meningkat dari 44 buah pada tahun 1974 menjadi 107 pada tahun 1994 (Shin 1944:136). Sekarang ini terdapat sekitar 190 negara, ini berarti bahwa kira-kira 56 persen adalah negara demokratis.

Upaya untuk menjelaskan gelombang demokrasi ini, ledakan ‘kekuatan rakyat’ dari Eropa Timur ke Afrika dan Asia tidak dapat diabaikan. Sebagai akibat demonstrasi massa, kadang melibatkan jutaan orang, tampaknya pemerintahan yang stabil secara harafiah dapat runtuh dalam satu malam. Jelas sekali, tekanan rakyat bersama-sama dengan himbauan internasional mengarah pada gelombang demokratisasi masa kini di Dunia Ketiga.

Komentar

Postingan Populer