PERBANDINGAN KEBIJAKAN PUBLIK TENTANG PENDIDIKAN INDONESIA – AMERIKA
A.
PENDAHULUAN
Sebagaimana
kita ketahui bahwa tujuan dari perbandingan kebijakan publik Paling sedkikit
ada 3 alasan dan tujuan mengapa kita perlu melakukan studi perbandingan
kebijakan publik yang ada di antara negara tertentu dengan negara lain, atau
antara kebijakan yang ada di negara kita dengan kebijakan yang ada di
Negara-negara lain. Yaitu:
1.
Untuk memperoleh gambaran dan pelajaran begaimana mendisain kebijakan yang
baik.
2.
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan lebih baik tentang bagaimana
peran kelembagaan kelembagaan pemerintah dan prosesproses politik (sebagaimana peran yang seharusnya) terutama
berkaitan dengan perumusan dan pemecahan masalah-masalah konkrit yang
berkembang di masyarakat.
3.
Untuk mengkaji berbagai kebijakan yang ada secara lintas nasional. Dengan
definisi dan tujuan tentang CPP sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapat
dikatakan bahwa studi CPP meliputi analisis teori dan analisis praktik yang
diarahkan untuk memecahkan permasalahan (sebagaimana yang dirumuskan dalam
kebijakannya) secara lebih detail dan rinci. Dengan demikian maka lingkup
kajiannya menjadi sangat luas. Karena itu untuk melakukan perbandingan
kebijakan publik dimungkinkan ada banyak pilihan (choices), diantaranya adalah
“economic choice” dan “politics choice”. Jika dalam kerangka kerja ekonomi
(economic choice) ada dikenal 2 tipe, yaitu alokasi (allocational) dan
distribusi (distributive), maka dalam kerangka kerja politik (politics choice)
kita akan mengenal lebih banyak lagi. Heidenheimer membantu kita untuk hanya
mengkonsentrasikan pada 4 tipe pilihan dari sekian banyak pilihan dalam
Politics as Choice. Yaitu:
1.
Pilihan-pilihan wilayah cakupan (Choices of Scope). Tipe Choices of Scope
(pilihan wilayah cakupan) ini menganalisis sejauhmana peran dan tanggung jawab
publik (pemerintah) dibandingkan dengan peran dan tanggung jawab privat
(swasta) dalam menangani masalah kebijakan. Dengan kata lain, sejauhmana
wilayah cakupan keterlibatan pemerintah dalam menangani permasalahan publik
dibandingkan dengan wilayah cakupan keterlibatan masyarakat (privat). Tipe
Choices of Scope ini juga digunakan untuk menganalisis apakah suatu kebijakan
itu ditetapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah tunggal atau masalah yang
kompleks (saling berkaitan). Misalnya kebijakan tentang pendidikan; apakah
kebijakan itu hanya khusus untuk menyelesaikan masalah pendidikan saja atau
juga dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dan lain-lain yang
berkaitan dengan peningkatan akses warganegara untuk memperoleh kehidupan yang
lebih harmonis?
2.
Pilihan-pilihan Instrumen Kebijakan (Choices of Policy Instruments). Tipe
pilihan ini menganalisis instrument atau alat kebijakan apa yang digunakan.
Menggunakan struktur pemerintahan sebagai instrument kebijakan atau alat-alat
lainnya?. Kebijakan itu diambil untuk tujuan (dijadikan alat mencapai tujuan)
mempertahankan kekuasaan pengambilan keputusan di tingkat nasional atau untuk
tujuan (dijadikan alat mencapai tujuan) delegasi wewenang di tingkat yang lebih
rendah? Dan masih banyak lagi pilihan-pilihan instrument kebijakan yang
dihunakan yang umumnya berhubungan dengan instrument tertentu dalam intervensi
publik.
3.
Pilihan-pilihan Distribusi (Choices of Distribution). Pilihan ini menganalisis
dampak kebijakan itu ke mana saja. Apakah kebijakan itu memiliki dampak
multiplier atau tidak?
4.
Pilihan-pilihan Pemecahan Masalah Secara Detail dan Inovasi (Choices of
Reistraints and Innovation). Tipe pilihan ini menganalisis berbagai alternative
yang mungkin dapat dipilih dan digunakan untuk memecahkan permasalahan secara
detail.
Pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan berkisar antara ; bagaimana cara melanjutkan, mengakhiri atau
menyesuaikan kebijakan yang sudah diimplementasikan selama ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut digunakan
untuk menemukan kreasi dan inovasi bagi pemecahan masalah yang mungkin belum
dapat dipecahkan dengan alternative yang sudah pernah dipilih selama ini.
B.
PEMBAHASAN
1.
Deskripsi Kebijakan Pendidikan Amerika Serikat
a.
Politik Pendidikan AS
Pada
umumnya kebijakan pendidikan yang diambil di suatu negara cenderung dijadikan
alat intervensi negara kepada warga negaranya. Bentuk intervensi itu bisa
berupa justifikasi (abash atau diakui/tidaknya) ilmu pengetahuan tertentu,
pengaturan kelembagaan sekolah, lama pendidikan dan gelar, serta kualifikasi
pendidikan yang dikaitkan dengan posisi pekerjaan (jabqatan). Di antara jenjang
pendidikan sekolah (mulai dari tingkat Dasar hingga Perguruan Tinggi) yang ada,
umumnya negara lebih memilih mengkonsentrasikan kekuasaannya untuk
mengintervensi pendidikan sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak, remaja dan
kaum muda. Hampir tidak ada negara yang menaruh perhatian cukup besar pada
pendidikan untuk orang-orang dewasa. Pertanyaannya adalah; Mengapa negara lebih
memilih memusatkan perhatiannya kepada pendidikan anak-anak (muda) dibandingkan
dengan pendidikan orang dewasa?.
Heidenheimer
(1990: 23) memberikan ilustrasi jawaban sebagai berikut: Bahwa sebagian negara
memilih lebih mengkonsentrasikan intervensinya pada pendidikan untuk anak-anak
dan remaja adalah disebabkan alasan karena negara memiliki tanggung jawab untuk
menciptakan kader-kader bangsa. Sebagian negara yang lain memiliki alasan bahwa
sekolah cukup menarik untuk dikuasai, dimana di dalamnya terdapat generasi yang
sangat mudah untuk dipengaruhi. Ada juga sebagian negara beralasan karena hak
suara untuk pemilihan politik di masa yang akan datang perlu proses
sosialisasi, dan itu cocok dilakukan untuk anak-anak melalui
sekolah-sekolahnya.
Sementara
itu pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Karena itu para
orang tua berbondong-bondong memasukkan anaknya di berbagai lembaga pendidikan,
terutama lembaga pendidikan formal yang diselenggarakan atau diakreditasi oleh
negara. Campur tangan dan intervensi negara pada pendidikan sekolah formal
tampaknya sering diabaikan oleh para orang tua. Karena itu perlu adanya
mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh orang-orang dewasa (masyarakat)
setempat terhadap penyelengaraan pendidikan sekolahsekolah formal agar intervensi
(kebijakan) negara dalam sector pendidikan bermakna positif bagi generasi
berikutnya yang lebih handal, sekaligus untuk mengurangi terjadinya peluang
penyimpangan yang mungkin dilakukan negara dalam kegiatan intervensinya itu.
Di
negara-negara demokrasi, kesadaran untuk mengawasi dan membatasi intervensi
pemerintah pada sector pendidikan itu ditandai dengan dipilihnya asas
desentralisasi dalam pengambilan kebijakan (pengaturan) sector pendidikan.
Amerika Serikat adalah salah satu negara pelopor demokrasi. Sudah sejak lama
kebijakan pendidikan di Amerika Serikat menjadi tanggung jawab
Pemerintah
Negara Bagian (State) dan Pemerintah Daerah (Distrik). Sebelumnya, Pemerintah
Pusat memang mengintervensi kebijakan pendidikan, sebagaimana yang terjadi
sejak tahun 1872, dimana Pemerintah Pusat AS mengintervensi kebijakan
pendidikan dengan cara memberikan tanah negara kepada Negara Bagian untuk
pembangunan fakultas-fakultas pertanian dan teknik; membantu sekolah sekolah
dengan program makan siang, menyediakan pendidikan bagi orangorang Indian;
menyediakan dana pendidikan bagi para veteran yang kembali ke kampus untuk
menempuh pendidikan lanjutan; menyediakan pinjaman bagi mahasiswa; menyediakan
anggaran untuk keperluan penelitian, pertukaran mahasiswa asing dan bantuan
berbagai kebutuhan mahasiswa lainnya; serta memberikan bantuan tidak langsung
(karena menurut ketentuan Undang-Undang Amerika Serikat pemerintah dilarang
memberikan bantuan langsung) kepada sekolah-sekolah agama dalam bentuk
buku-buku teks dan laboratorium. Namun semenjak masa Pemerintahan Presiden
Ronald Reagen, intervensi Pemerintah Pusat AS terhadap pendidikan mulai
dikurangi.
Selanjutnya
tanggung jawab dan inisiatif kebijakan pendidikan diserahkan kepada Negara
Bagian (setingkat Propinsi) dan Pemerintah Daerah/Distrik (setingkat
Kabupaten/Kota). Di Amerika Serikat terdapat 50 Negara Bagian dan 15.358
Distrik. Jadi sebanyak itu lembaga yang diberi kewenangan dan otonomi untuk
mengelola pendidikan.
b.
Tujuan Pendidikan AS Sebagaimana dideskripsikan di atas bahwa karakteristik
utama politik system pendidikan Amerika Serikat adalah menonjolnya
DESENTRALISASI. Pemerintah Pusat sangat memberi otonomi seluas-luasnya kepada Pemerintah
di bawahnya, yaitu Negara Bagian dan Pemerintah Daerah (Distrik). Meskipun
Amerika Serikat tidak mempunyai system pendidikan yang terpusat atau yang
bersifat nasional, akan tetapi bukan berarti tidak ada rumusan tentang tujuan
pendidikan yang berlaku secara nasional.
Tujuan
system pendidikan Amerika secara umum dirumuskan dalam 5 poin sebagai berikut:
1)
Untuk mencapai kesatuan dalam keragaman;
2)
Untuk mengembangkan cita-cita dan praktek demokrasi;
3)
Untuk membantu pengembangan individu;
4)
Untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat; dan
5)
Untuk mempercepat kemajuan nasional.
Di
luar 5 tujuan tersebut, Amerika Serikat mengembangkan visi dan missi pendidikan
gratis bagi anak usia sekolah untuk masa 12 tahun pendidikan awal, dan biaya
pendidikan relatif murah untuk tingkat pendidikan tinggi.
c.
Manajemen Pendidikan AS
Dengan
mengembangkan pola Desentralisasi, maka manajemen pendidikan di Amerika Serikat
dikelola berdasarkan aspirasi dan kebutuhan masrakat Negara Bagian dan Pemerintah
Daerah setempat. Di tingkat nasional (federal/pusat) dibentuk satu departemen, yaitu
DEPARTEMEN PENDIDIKAN FEDERAL. Departemen ini dipimpin oleh seorang setaraf
Sekretaris Kabinet. Tugas departemen ini adalah melaksanakan semua kebijakan pemerintah
federal dalam sector pendidikan di semua tingkatan pemerintahan dan untuk semua
jenjang pendidikan. Tetapi, karena sebagian besar kewenangan dan tanggung jawab
pendidikan sudah diserahkan kepada Negara Bagian dan Pemerintah Daerah, maka
Departemen Pendidikan Federal hanya menjalankan monitoring dan pengawasan saja.
Di tingkat Negara Bagian dibentuk sebuah badan yang diberi nama BOARD of
EDUCATION. Badan ini bertugas dan berfungsi membuat kebijakan-kebijakan serta
menentukan anggaran pendidikan untuk masing-masing wilayah (Negara Bagian) nya,
khususnya berkenaan dengan Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
Selanjutnya,
untuk menangani permasalahan yang berkaitan dengan hal-hal yang lebih teknis
(yaitu; tentang kurikulum sekolah, penentuan persyaratan sertifikasi, guru-guru,
dan pembiayaan sekolah) dibentuk sebuah bagian pendidikan yang disebut sebagai
COMISSIONER, sering juga disebut sebagai SUPERINTENDENT. Bagian ini dipimpin
oleh seorang yang ditunjuk oleh Board of Education atau oleh Gubernur. Untuk
beberapa Negara Bagian, pimpinan Bagian Pendidikan ini dipilih oleh masyarakatada.
Sementara itu pada level operasional, pelaksanaan manajemen pendidikan
dijalankan oleh unit-unit yang lebih rendah, bahkan banyak secara langsung
dilaksanakan oleh masing-masing sekolah yang bersangkutan. Para pimpinan atau Kepala
Sekolah pada prinsipnya memiliki kebebasan dan otonomi yang luas untuk
menjalankan manajemen operasional pendidikan. Khusus untuk menangani kebijakan
Pendidikan Tinggi, manajemen pendidikan Amerika Serikat yang dikembangkan oleh
Negara-Negara Bagian memisahkan antara Badan yang memberi izin pendirian
Perguruan Tinggi (Negeri dan Swasta) dengan Badan yang merumuskan kebijakan
akademik serta keuangan.
Badan
yang menangani kebijakan akademik dan keuangan untuk Pendidikan Tinggi adalah
BOARD of TRUSTEES. Untuk Perguruan Tinggi Negeri anggota badan tersebut
ditunujuk oleh Gubernur Negara Bagian. Ada juga yang dipilih dari dan oleh
kelompok yang akan diwakili. Sedangkan untuk Perguruan Tinggi Swasta anggota
badan tersebut dipilih dari perguruan tinggi masing-masing.
d.
Pendanaan Pendidikan AS
Sumber
pendanaan pendidikan di Amerika, khususnya pendidikan dasar dan menengah, yang
lebih dikenal dengan PUBLIC SCHOOLS, berasal dari Anggaran Pemerintah Pusat
(Federal), Anggaran Pemerintah Negara Bagian dan Anggaran Pemerintah Daerah.
e.
Isu-isu Pendidikan AS
Menurut
hasil studi perbandingan yang dilakukan oleh Agustiar Syah Nur (2001), ada
beberapa isu dan masalah pendidikan yang dialami pemerintah dan masyarakat Amerika Serikat, antara
lain:
a)
Banyaknya anak usia sekolah yang tidak diasuh langsung oleh orang tua mereka,
karena adanya dinamika perubahan sosial masyarakat AS yang umumnya baik sang
ibu atau sang ayah memiliki kesibukan yang sangat tinggi di luar rumah. Hal ini
akan menjadi permasalahan yang serius bagi perkembangan social anak dilihat
dari aspek psikis dan emosional.
b)
Tingginya tingkat perceraian, yang mengakibatkan banyaknya anak-anak usia
sekolah yang hanya diasuh oleh sang ibu sebagai single-parent dalam rumah
tangga. Tidak sedikit janda cerai di AS yang terpaksa harus berporfesi rendahan
dan kasar. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan sosial anak-anak mereka.
c)
Tingginya tingkat imigrasi yang umumnya berasal dari kalangan tidak mampu dan
tidak terdidik, yang karenanya banyak diantara mereka yang tidak memperoleh
pekerjaan yang layak. Hal ini menyebabkan masalah pendidikan anak-anak dari
keluarga imigran tidak dapat teratasi. Ditambah lagi factor bahasa dari kalangan
imigran yang menyulitkan bagi anak-anak imigran itu sendiri jika mereka
mendapat akses pendidikan.
d)
Dari berbagai monitoring dan evaluasi pendidikan yang dilakukan oleh berbagai
badan resmi AS sendiri, ternyata kualitas pendidikan dan lulusan sekolah di AS
masih kalah dibandingkan dengan negara-negara lain dalam standar internasional.
Banyak anak-anak yang drop-outs dan tingginya kekerasan oleh anakanak.
f.
Reformasi Pendidikan AS Karena adanya berbagai permasalahan tersebut, pemerintah
AS sejak tahun 1990 mencanangkan reformasi pendidikan. Pada tahun tersebut
Presiden AS George H. B. Bush beserta seluruh Gubernur Negara Bagian (saat itu
Bill Clinton termasuk menjadi salah satu Gubernur Negara Bagian) menyetujui
reformasi pendidikan dengan mencanangkan 6 tujuan nasional pendidikan AS yang
baru. Yaitu:
a)
Pada tahun 2000, seluruh anak di AS di waktu mulai masuk sekolah dasar sudah
siap untuk belajar.
b)
Pada tahun 2000, tamatan sekolah menengah naik sekurangkurangnya 90%.
c)
Pada tahun 2000, murid-murid di AS yang menyelesaikan pendidikannya pada “grade
4, 8 dan 12” mampu menunjukkan kemampuannya dalam mata pelajaran yang
menantang, yaitu bahasa inggris, matematika, sains, sejarah, dan geografi. Setiap
sekolah di AS harus mampu menunjukkan bahwa anak-anak dapat menggunakan pikirannya dengan baik,
sehingga mereka siap menjadi warga negara yang baik, siap untuk memasuki pendidikan
yang lebih tinggi, serta siap pula untuk pekerjaan yang produktif dalam perekonomian
modern.
d)
Pada tahun 2000, siswa-siswa AS adalah yang terbaik di dunia dalam bidang sains
dan matematika.
e)
Pada tahun 2000, setiap orang dewasa AS dapat membaca dan menulis, memiliki
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk bersaing dalam ekonomi
global, serta dapat melaksanakan hak dan tanggung jawabnya sebagai warga
negara.
f)
Pada tahun 2000, setiap sekolah di AS harus bebas dari obat-obat terlarang dan
kekerasan, serta dapat menciptakan suasana lingkungan yang mantap dan aman
sehingga kondusif untuk belajar.
Pokok-pokok
reformasi tersebut dimaksudkan sebagai pegangan dalam membuat kebijakan-kebijakan
pendidikan yang sudah harus segera diimplementasikan dan hasilnya sudah harus kelihatan
pada tahun 2000. Dan memang itulah yang terjadi di AS. Pokok-pokok reformasi pendidikan
itu akhirnya ditindak lanjuti dengan berbagai kreasi kebijakan pendidikan di
tingkat negara bagian dan pemerintah derah. Gerakan reformasi pendidikan di
kalangan Gubernur itu dipelopori oleh Gubernur Bill Clinton dan Lamar Alexander
di masingmasing negara bagiannya. Gebrakan yang dilakukan adalah:
a)
Meningkatkan persyaratan untuk menamatkan suatu jenjang pendidikan,
b)
Melaksanakan test standar untuk mengukur keberhasilan siswa,
c)
Menjalankan system penilaian yang ketat terhadap guru sejalan dengan pembenahan
jenjang karir bagi guru-guru,
d)
Memperbesar tambahan dana dari negara bagian bagi sekolahsekolah. Tambahan dana
baru ini pada umumnya dipakai untuk meningkatkan gaji guru yang kala itu masih
berada pada taraf sangat rendah. Akhirnya AS benar-benar memperoleh kemajuan di
bidang pendidikan, sehingga ketika Bill Clinton menjadi Presiden AS, keberhasilan
AS dalam mengembangkan kebijakan pendidikan mendapat perhatian khusus.
2.
Deskripsi Kebijakan Pendidikan Indonesia
a.
Politik Pendidikan Indonesia Politik pendidikan di Indonesia agaknya mengalami pergeseran
dari sentralistik (terpusat) ke desentralisasi. Amal mula intervensi negara
terhadap sector pendidikan ini sangat besar, sangat kental, dan sangat vulgar.
Keadaan mencapai puncaknya saat kementerian pendidikan dipegang oleh Daoed
Joesop. Saat itu tidak ada satupun kebebasan dalam sekolah dan kampus. Bahkan
berbeda pendapat pun tidak dimungkinkan.
Sekolah dan kampus tak ubahnya kelas besar untuk indokrinasi ideologi
pemerintah (bukan ideologi negara) yang tidak menginginkan adanya kritik
terbuka. Kurikulum didisain sedemikian rupa sehingga mata-mata pelajaran yang sifatnya
politis menjadi sangat dipentingkan. Mata pelajaran Pancasila, Sejarah, Kewiraan,
dan bahkan agama didisain untuk mengentalkan intervensi negara kepada otak,
pikiran dan sikap warga negaranya. Seiring dengan kejatuhan rejim ‘orde baru’ yang
interventif tersebut, yang dijatuhkan oleh adanya gerakan reformasi total
masyarakat yang dimotori oleh mahasiswa dan kalangan terpelajar, datanglah era
yang penuh semangat untuk mengurangi peran dan campur tangan pemerintah pusat
dalam menangani berbagai permasalahan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan.
Inspirasi pertama muncul dari diundangkannya otonomi daerah secara reformis,
yaitu UU No.22 tahun 1999. Dikatakan secara reformis karena sebelum ini memang
sudah pernah ada UU otonomi daerah tetapi tidak memiliki ruh reformasi dan
hanya formalitas, yaitu UU No.5 tahun 1975. UU otonomi daerah yang baru itu
mengilhami dirumuskannya kebijakan desentralisasi pendidikan.
Dalam
bukunya yang berjudul ‘Membenahi Pendidikan Nasional’, Prof. H.A.R. Tilaar
(2002), menyatakan bahwa kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia bukan
saja sekedar keinginan dan kemauan, tetapi sudah merupakan suatu keharusan.
Pasca gerakan reformasi politik dicanangkan pada tahun 1998, ke depan ini bangsa
Indonesia harus bangkit menjadi bangsa yang kuat dan bermartabat, yang berarti
sektor pendidikan harus ditempatkan pada posisi pentring dan urgen. Berkaitan dengan
urgensi sektor pendidikan itu maka harus dilakukan reformasi dalam pendidikan
dari sentralisasi ke desentralisasi. Ada 3 hal yang dapat menjelaskan urgensi
desentralisasi pendidikan di Indonesia, yaitu :
a)
Untuk pembangunan masyarakat demokrasi;
b)
Untuk pembangunan social capital; dan
c)
Untuk peningkatan daya saing bangsa;
Selanjujtnya
uraian tentang politik pendidikan di Indonesia dapat diikuti kutipan ‘propenas
diknas’ yang disistimatisasikan sebagai berikut: Pada awal abad XXI, dunia
pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama,
sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan
hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk
mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya
manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga,
sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan
penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses
pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daerah
dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Visi
Pendidikan Nasional. Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya masyarakat
Indonesia yang damai, demokratis, berakhlak, berkeahlian, berdaya saing, maju
dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh
manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia,
cinta tanah air, berdasarkan hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. Misi
Pendidikan Nasional. Untuk mewujudkan visi pendidikan nasional, pemuda, dan
olahraga ditetapkan misi yang menjadi sasaran pembangunan pendidikan nasional,
pemuda, dan olahraga, yaitu sebagai berikut:
1)
Mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas
guna mewujudkan bangsa yang berakhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan
kebangsaan, cerdas, sehat, disiplin, bertanggungjawab, terampil, serta menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi;
2)
Mewujudkan kehidupan sosial budaya yang berkepribadian, dinamis, kretaif, dan
berdaya tahan terhadap pengaruh globalisasi;
3)
Meningkatkan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan
kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan, dan
mantapnya persaudaraan antarumat beragama yang berakhlak mulia, toleran, rukun,
dan damai;
4)
Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju,
berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dalam rangka
memberdayakan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional terutama
pengusaha kecil, menengah, dan koperasi.
b.
Arah Kebijkan Pendidikan Indonesia
Kebijakan
pembangunan pendidikan di Indonesia diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai
berikut:
1)
Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia
Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara
berarti;
2)
Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan
tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama
dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan
wibawa lembaga dan tenaga kependidikan;
3)
Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi
kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang
berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi
jenis pendidikan secara professional;
4)
Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat
pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi
keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai;
5)
Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan
prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen;
6)
Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh
masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif
dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
7)
Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah,
terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh
komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan
hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya;
8)
Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri
dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi guna meningkatkan
daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.
c.
Program Pembangunan Pendidikan Indonesia
1)
Program Pendidikan Dasar dan Prasekolah
Program
pembinaan pendidikan dasar dan prasekolah bertujuan untuk (1) memperluas
jangkauan dan daya tampung SD dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), SLTP dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), dan lembaga pendidikan prasekolah sehingga menjangkau
anak-anak dari seluruh masyarakat; dan (2) meningkatkan kesamaan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan bagi kelompok yang kurang beruntung, termasuk mereka yang
tinggal di daerah terpencil dan perkotaan kumuh, daerah bermasalah, masyarakat
miskin, dan anak yang berkelainan; (3) meningkatkan kualitas pendidikan dasar
dan prasekolah dengan kualitas yang memadai; dan (4) terselenggaranya manajemen
pendidikan dasar dan prasekolah berbasis pada sekolah dan masyarakat
(school/community based management).
2)
Program Pendidikan Menengah
Program
pembinaan pendidikan menengah yang mencakup Sekolah Menengah Umum (SMU),
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah (MA) ditujukan untuk (1)
memperluas jangkauan dan daya tampung SMU, SMK, dan MA bagi seluruh masyarakat;
dan (2) meningkatkan kesamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kelompok
yang kurang beruntung, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil dan perkotaan
kumuh, daerah bermasalah dan masyarakat miskin, dan anak yang berkelainan; (3)
meningkatkan kualitas pendidikan menengah sebagai landasan bagi peserta didik
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan
kebutuhan dunia kerja;
(4)
meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan yang tersedia, (5)
meningkatkan keadilan dalam pembiayaan dengan dana publik, (6) meningkatkan efektivitas
pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat, (7) meningkatkan
kinerja personel dan lembaga pendidikan, (8) meningkatkan partisipasi masyarakat
untuk mendukung program pendidikan, dan (9) meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.
3)
Program Pendidikan Tinggi
Program
pembangunan nasional pendidikan tinggi bertujuan untuk (1) melakukan penataan
sistem pendidikan tinggi; (2) meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan
tinggi dengan dunia kerja; dan (3) meningkatkan pemerataan kesempatan
memperoleh pendidikan tinggi, khususnya bagi siswa berprestasi yang berasal
dari keluarga kurang mampu.
4)
Program Pembinaan Pendidikan Luar Sekolah
Program
pembinaan pendidikan luar sekolah (PLS) ini bertujuan untuk menyediakan
pelayanan kepada masyarakat yang tidak atau belum sempat memperoleh pendidikan
formal untuk mengembangkan diri, sikap, pengetahuan dan keterampilan, potensi
pribadi, dan dapat mengembangkan usaha produktif guna meningkatkan kesejahteraan
hidupnya. Selain itu, program PLS diarahkan pada pemberian pengetahuan dasar
dan keterampilan berusaha secara profesional sehingga warga belajar mampu
mewujudkan lapangan kerja bagi dirinya dan anggota keluarganya.
5)
Program Sinkronisasi dan Koordinasi
Program
ini bertujuan untuk meningkatkan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan program-program pendidikan baik
antarjenjang, jalur, dan jenis maupun antardaerah. Sasarannya adalah mewujudkan
sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan
program-program pembangunan pendidikan, antarjenjang, jalur dan jenis maupun
antardaerah.
6)
Program Penelitian dan Pengembangan
Program
ini bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu hasil penelitian; (2) meningkatkan
kualitas peneliti; (3) meningkatkan kompetensi lembaga-lembaga penelitian dan
pengembangan (litbang) publik searah dengan kebutuhan dunia usaha dan
masyarakat, serta perkembangan percepatan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
(4) membentuk iklim yang kondusif bagi terbentuknya sumber daya litbang.
7)
Program Peningkatan Kemandirian dan Keunggulan Iptek
Program
ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pelayanan teknologi lembaga-lembaga
litbang, Metrology, Standardization, Testing and Quality (MSTQ), yang
ditekankan untuk mendukung daya saing dunia usaha dan mendorong pelaksanaan
litbang di dan oleh dunia usaha.
d.
Manajemen Pendidikan Di Indonesia
Administrasi
dan menejemen (birokrasi) pendidikan di Indonesia tidak berbeda dengan
administrasi dan manajemen sektor-sektor lain yang berbentuk departemen. Secara
nasional permasalahan sektor pendidikan ditangani oleh sebuah badan
berbentukdepartemen, yang beberapa kali mengalami perubahan nama dan perubahan terakhir
diberi nama DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL.
Departemen
ini dipimpin oleh seorang menteri yang ditunjuk langsung oleh presiden. Ditingkat regional (propinsi), koordinasi
urusan-urusan pendidikan ditangani oleh sebuah badan yang diberi nama DINAS
PENDIDIKAN PROPINSI, yang dipimpin oleh seorang kepala. Kepala Dinas Pendidikan
Propinsi ditunjuk oleh Gubernur dengan persetujuan DPRD Propinsi.
Sedangkan
di tingkat daerah Kabupaten/Kota, koordinasi urusan pendidikan ditangani oleh
sebuah lembaga yang diberi nama DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN/KOTA. Sama dengan
Dinas di Propinsi, Dinas ini dipimpin oleh seorang kepala. Bedanya, kepala
dinas di tingkat kabupaten/kota ditunjuk oleh Bupati/Walikota dengan
persetujuan DPRD Kab/Kota yang bersangkutan. Sejalan dengan kebijakan
desentralisasi pemerintahan, maka sektor pendidikan ini juga mengalami perubahan
kebijakan dari sentralistik ke desentralisasi.
Sebagaimana
diketahui bahwa tujuan dikeluarkannya Undang Undang Pemerintahan Daerah dan
otonomi daerah adalah untuk memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan
bertanggungjawab kepada Daerah dan masyarakat sehingga memberi peluang kepada
Daerah dan masyarakat agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas
prakasa sendin sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap
daerah. Penyelenggaraan pendidikan
memerlukan dukungan masyarakat yang memadai. Sebagat langkah alternatif dalam
mengupayakan dukungan masyarakat untuk sektor pendidikan ini adalah dengan
menumbuhkan keberpihakan yang bermutu, mulai dari pimpinan negara, sampai
aparat yang paling rendah. termasuk masyarakat yang bergerak dalam sektor
swasta dan industri. Keberpihakan konkret itu perlu disalurkan secara politis
menjadi suatu gerakan bersama (collective action) yang diwadahi Dewan Pendidikan
yang berkedudukan di kabupaten/kota dan komite Sekolah ditingkat satuan pendidikan.
e.
Pendanaan Pendidikan di Indonesia
Jika
dibandingkan dengan di AS, sumber pendanaan pendidikan di Indonesia berasal
dari beberapa sumber anggaran. Yaitu berasal dari APBN, APBD Propinsi, dan APBD
Kabupaten/Kota. Sumber pendanaan dari APBN umunya dialokasikan untuk seluruh
kegiatan pendidikan, mulai dari tingkat dasar, menengah, hingga perguruan
tinggi. Sumber dari APBN ini juga diperuntukkan bagi penyelenggaraan pendidikan
secara nasional. Sedangkan sumber pendanaan
yang berasal dari APBN Propinsi, umumnya sebagian besar diperuntukkan bagi pendidikan
tingkat dasar dan menengah. Hanya sebagian kecil yang dialokasikan untuk
mendukung kegiatan di tingkat pendidikan tinggi. Sumber dana dari APBD propinsi
ini dialokasikan untuk penuyelenggaraan pendidikan yang ada diwilayah propinsi
tersebut. Adapun sumber pendanaan dari APBD Kabupaten/Kota seluruhnya untuk
mendukung penyelenggaraan pendidikan di wilayah tersebut. Hal ini sesuai dengan
semangat desentralisasi. Sejak diberlakukannya kebijakan desentralisasi pendidikan,
alokasi anggaran pendidikan, baik di APBN maupun APBD Propinsi dan Kab/Kota,
mengalami peningkatan yang cukup berarti. Hal ini dikarenakan menurut amanat
UU, anggaran pendidikan harus terus diupayakan dinaikkan hingga mencapai sedikitnya
angka 20% dari total anggaran pengeluaran APBN atau APBD.
C.
PENUTUP
Seperti
yang ditegaskan oleh Heidenheimer (1990: 31) bahwa “di negara yang sistem
politiknya tersentral (sentralistik), kebijakan sektor pendidikannya terpusat di
dalam perundang-undangan nasional. Sebab di negara yang pemerintahannya
sentralistik permasalahan implementasi kebijakan itu relatif sedikit. Sedangkan
di dalam sistem pemerintahan desentrasliasi kebijakan pendidikan menjadi keputusan
banyak badan yang secara relevan berkaitan dengan sektor pendidikan. Lebih dari itu, perubahan-perubahan reformasi
kebijakan pendidikan harus selalu dirundingkan bersama dengan pemerintah daerah
yang sudah diberi otonomi secara politik”. Maka ketika sudah diketahui bahwa kebijakan
pendidikan Indonesia ternyata didesain dan diterapkan secara desentralisasi
(sama dengan AS), sampailah kita membuat analisis preskriptif yang dapat digunakan
sebagai rekomendasi bagi perbaikan dan reformasi (bilamana dimungkinkan)
kebijakan pendidikan di Indonesia.
Analisis
preskriptif penulis adalah sebagai berikut: Bahwa dalam banyak hal Indonesia
sama dengan AS. Mungkin hal ini dikarenakan Indonesia lebih condong mereformasi
kebijakan pendidikan berdasarkan hasil studi pengalaman di negara AS. Arah politik
kebijakan dengan demikian adalah untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi
berkembangnya demokratisasi dari tingkat paling bawah ke tingkat yang lebih
pusat, dari sektor yang paling sempit dampaknya ke sektor yang dampaknya sangat
kompleks. Keterlibatan masyarakat luas dengan demikian sangat diperlukan.
Daftar
Pustaka
Alex Inkeles dan Larry
J. Diamond, 1980, “Personal Development and National Development: A
CrossNational Perspective,” dalam The Quality of Life: Comparative Studies, ed.
Alexander Szalai dan Frank M. Andrews, (London: Sage Publications).
Chan, Sam M dan Sam,
Tuti T, 2005, Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada.
Heidenheimer, at.al,
1990, Comparative Public Policy : The Politics of Social Choice in America,
Europe, and Japan, ST. Martin’s Press, New York.
Huntington, Samuel P.,
1997, The Third Wave: Democratization In The Late Twentieth Century, University
of Oklahoma Press, 1991, (Diindonesiakan dalam Gelombang Demokratisasi Ketiga,
Pustaka Utama Grafiti.
Klingemann,
Hans-Dieter, at.al, 2000, Parties, Policies, and Democracy, Diterjemahkan oleh:
Sigit Jatmiko, Partai, Kebijakan dan Demokrasi, Jentera bekerjasama dengan
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Nur, Agustiar Syah,
2001, Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara, Penerbit LUBUK AGUNG, Bandung.
Peters, B. Guy, 1998,
Public Policy Instruments: Evaluating the Tools of Public Administration,
Edward Elgar, USA.
Ronald Inglehart, 1988
“The Renaissance of Political Culture,” American Political Science Review
82.
Tilaar, H.A.R, 2002,
Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, Komisi Pemilihan
Umum Kota Surabaya.
Komentar
Posting Komentar